Jumat, 25 Februari 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu
proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap
terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;
b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga
mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai
pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat
nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat
dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh
lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi
yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan
kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang
secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentukbentuk
perbuatan hukum baru;
d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi
harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara,
dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi
kepentingan nasional;
e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting
dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian
nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan
Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan
pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi
dilakukan secara aman untuk mencegah
penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai
agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf
f, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik;
Mengingat :. . .
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan
Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk
mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan
informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau
didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
2
5. Sistem . . .
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan
Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem
Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun
terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem
Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan
terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara
otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat
elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan
identitas yang menunjukkan status subjek hukum para
pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10.Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum
yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang
memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
11.Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen
yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan
diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit
dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi
Elektronik.
12.Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri
atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau
terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13.Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan
atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
14.Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,
magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi
logika, aritmatika, dan penyimpanan.
15.Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem
Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya
atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk
dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
lainnya.
3
17. Kontrak . . .
17.Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat
melalui Sistem Elektronik.
18.Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
19.Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20.Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara
negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang
dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet,
yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik
untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21.Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara
Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
22.Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau
perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
23.Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang
ditunjuk oleh Presiden.
Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum
Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di
luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi
atau netral teknologi.
4
Pasal 4 . . .
Pasal 4
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang
untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang
penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi
seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum
bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-
Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau
akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 6
5
Pasal 6 . . .
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi
harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.
Pasal 7
Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang
telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus
memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik
yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundangundangan.
Pasal 8
(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada
saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
telah dikirim dengan alamat yang benar oleh Pengirim ke
suatu Sistem Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan
Penerima dan telah memasuki Sistem Elektronik yang
berada di luar kendali Pengirim.
(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik di bawah
kendali Penerima yang berhak.
(3)Dalam hal Penerima telah menunjuk suatu Sistem
Elektronik tertentu untuk menerima Informasi Elektronik,
penerimaan terjadi pada saat Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik
yang ditunjuk.
(4)Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang
digunakan dalam pengiriman atau penerimaan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka:
a. waktu pengiriman adalah ketika Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik memasuki sistem
informasi pertama yang berada di luar kendali
Pengirim;
6
b. waktu . . .
b. waktu penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik memasuki sistem
informasi terakhir yang berada di bawah kendali
Penerima.
Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem
Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan.
Pasal 10
(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi
Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi
Keandalan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi
Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan
akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait
hanya kepada Penanda Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat
proses penandatanganan elektronik hanya berada
dalam kuasa Penanda Tangan;
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik
yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat
diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang
terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk
mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa
Penanda Tangan telah memberikan persetujuan
terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
7
(2) Ketentuan . . .
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik
berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda
Tangan Elektronik yang digunakannya.
(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak
berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehatihatian
untuk menghindari penggunaan secara tidak
sah terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan
Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda,
menggunakan cara yang dianjurkan oleh
penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara
lain yang layak dan sepatutnya harus segera
memberitahukan kepada seseorang yang oleh
Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda
Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung
layanan Tanda Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data
pembuatan Tanda Tangan Elektronik telah
dibobol; atau
2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan
dapat menimbulkan risiko yang berarti,
kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan
Tanda Tangan Elektronik; dan
d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk
mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda
Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan
semua informasi yang terkait dengan Sertifikat
Elektronik tersebut.
(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab
atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.
8
BAB IV . . .
BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik
Pasal 13
(1) Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik untuk pembuatan Tanda Tangan
Elektronik.
(2) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan
keterkaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan
pemiliknya.
(3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas:
a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan
b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.
(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan
hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia.
(5) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi
di Indonesia harus terdaftar di Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (5) harus
menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada
setiap pengguna jasa, yang meliputi:
a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda
Tangan;
b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri
pembuat Tanda Tangan Elektronik; dan
c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan
dan keamanan Tanda Tangan Elektronik.
9
Bagian Kedua . . .
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
Pasal 15
(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus
menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan
aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya
Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab
terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan
memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna
Sistem Elektronik.
Pasal 16
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang
tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib
mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi
persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan
masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan
Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan,
keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi
Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau
petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol
yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk
menjaga kebaruan, kejelasan, dan
kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
10
BAB V . . .
BAB V
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan
dalam lingkup publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad
baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama
transaksi berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak
Elektronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum
yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang
dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam
Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik
internasional yang dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut,
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Pasal 19
Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus
menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati.
11
Pasal 20 . . .
Pasal 20
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik
terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim
Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Pasal 21
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi
Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya,
atau melalui Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum
dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung
jawab para pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat
hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat
hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen
Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal
beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak
ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala
akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara
Agen Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal
beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak
pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi
tanggung jawab pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan
memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna
Sistem Elektronik.
12
Pasal 22 . . .
Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan
fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang
memungkinkan penggunanya melakukan perubahan
informasi yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen
Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL,
DAN PERLINDUNGAN HAK PRIBADI
Pasal 23
(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha,
dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama Domain
berdasarkan prinsip pendaftar pertama.
(2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad
baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara
sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain.
(3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau
masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama
Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak
mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain
dimaksud.
Pasal 24
(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau
masyarakat.
(2)Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain
oleh masyarakat, Pemerintah berhak mengambil alih
sementara pengelolaan Nama Domain yang
diperselisihkan.
(3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah
Indonesia dan Nama Domain yang diregistrasinya diakui
keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13
Pasal 25 . . .
Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya
intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak
Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundangundangan,
penggunaan setiap informasi melalui media
elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus
dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas
kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang
ini.
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman.
14
Pasal 28 . . .
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA).
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi.
Pasal 30
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam
suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik
Orang lain.
15
(2) Setiap . . .
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/
atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang
tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang
menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau
penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik
Orang lain atau milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun memindahkan atau
mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak
berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat
rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan
keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat
terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan
Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana
mestinya.
16
Pasal 34 . . .
Pasal 34
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk
digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan,
atau memiliki:
a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang
dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;
b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang
sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem
Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan
tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan
penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk
perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan
tidak melawan hukum.
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah
data yang otentik.
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan
kerugian bagi Orang lain.
Pasal 37
Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem
Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
17
BAB VIII . . .
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 38
(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak
yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau
menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan
kerugian.
(2)Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan
terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik
dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang
berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 39
(1)Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 40
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu
ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang
memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang
elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data
tertentu untuk kepentingan pengamanan data.
18
(5) Instansi . . .
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3)
membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang
elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data
yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1)Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan
Teknologi Informasi melalui penggunaan dan
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi
Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk
oleh masyarakat.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 42
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan
dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 43
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
19
(2) Penyidikan . . .
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi,
kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data,
atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem
elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana
harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri
setempat.
(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib
menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk
didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau
saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak
pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang-
Undang ini;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau
Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak
pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana
yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi
yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana
berdasarkan Undang-Undang ini;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu
yang diduga digunakan sebagai tempat untuk
melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat
dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang
diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
20
h. meminta . . .
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam
penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan
Undang-Undang ini; dan/atau
i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana
berdasarkan Undang-Undang ini sesuai dengan
ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.
(6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan,
penyidik melalui penuntut umum wajib meminta
penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam
waktu satu kali dua puluh empat jam.
(7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada penuntut
umum.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat
berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi
informasi dan alat bukti.
Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah
sebagai berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Perundang-undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3).
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
21
(2) Setiap . . .
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 46
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).
Pasal 47
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 48
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
22
(2) Setiap . . .
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 49
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 50
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 52
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi
seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga
dari pidana pokok.
23
(2) Dalam . . .
(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer
dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang
digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana
pokok ditambah sepertiga.
(3)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer
dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau
badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada
lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan,
lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam
dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masingmasing
Pasal ditambah dua pertiga.
(4)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi
dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan
Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan
dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap
berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.
24
Agar. . .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 58
Salinan sesuai dengan aslinya
DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA
BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN,
MUHAMMAD SAPTA MURTI
25
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
I. UMUM
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah
baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula
menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan
menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan
berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang
bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi
sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum
siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara
internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum
telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum
telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang
juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information
technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum
mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan
melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam
lingkup lokal maupun global (Internet) dengan memanfaatkan teknologi
informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik
yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali
dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi,
dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian
dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui
sistem elektronik.
Yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem komputer dalam
arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan perangkat
lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan telekomunikasi dan/atau
sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer
adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode,
skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media
yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer
26
Sistem . . .
bekerja untuk melakukan fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang
khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut.
Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem
informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis
jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang,
memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau
menyebarkan informasi elektronik. Sistem informasi secara teknis dan
manajemen sebenarnya adalah perwujudan penerapan produk teknologi
informasi ke dalam suatu bentuk organisasi dan manajemen sesuai
dengan karakteristik kebutuhan pada organisasi tersebut dan sesuai
dengan tujuan peruntukannya. Pada sisi yang lain, sistem informasi secara
teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dan
mesin yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak,
prosedur, sumber daya manusia, dan substansi informasi yang dalam
pemanfaatannya mencakup fungsi input, process, output, storage, dan
communication.
Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama
memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan
kebendaan yang tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik
sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan kegiatan siber tidak lagi
sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu
negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana pun. Kerugian
dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang
tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit
melalui pembelanjaan di Internet. Di samping itu, pembuktian merupakan
faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja
belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara
komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah,
disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu
hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa
demikian kompleks dan rumit.
Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena
transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik
(electronic commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan
internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang
teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang
terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukannya
perkembangan baru di bidang teknologi informasi, media, dan komunikasi.
Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber
(cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai
tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada
ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum
konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak
kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam
27
Dengan . . .
ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata
meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai
Orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam
kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen elektronik yang
kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas.
Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian
hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi
agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, terdapat tiga
pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space, yaitu pendekatan
aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk
mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara
elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian
hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata
untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan
oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan
hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia
baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau
badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki
akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi
Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat
bersifat lintas teritorial atau universal.
Yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia” adalah
meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi
nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa,
pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara,
serta badan hukum Indonesia.
Pasal 3
“Asas kepastian hukum” berarti landasan hukum bagi pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu
yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan
hukum di dalam dan di luar pengadilan.
“Asas manfaat” berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses
28
“Asas . . .
berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
“Asas kehati-hatian” berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan
harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan
kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Asas iktikad baik” berarti asas yang digunakan para pihak dalam
melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi
pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.
“Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi” berarti asas
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak
terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat
mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Huruf a
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis
meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat
yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses
penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi
negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 6
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen
yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya
informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa
saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik,
informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk
dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan
29
Pasal 7 . . .
cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak
dapat dibedakan lagi dari salinannya.
Pasal 7
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dapat digunakan sebagai alasan timbulnya suatu
hak.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar” meliputi:
a. informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan
kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara
maupun perantara;
b. informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat
sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang
ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.
Pasal 10
Ayat (1)
Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa pelaku
usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak
berusaha setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang
berwenang. Bukti telah dilakukan Sertifikasi Keandalan
ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark
pada laman (home page) pelaku usaha tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberikan pengakuan secara tegas bahwa
meskipun hanya merupakan suatu kode, Tanda Tangan Elektronik
memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual
pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum.
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupakan
persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap Tanda
Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesempatan seluasluasnya
kepada siapa pun untuk mengembangkan metode,
teknik, atau proses pembuatan Tanda Tangan Elektronik.
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah dimaksud, antara lain, mengatur tentang
teknik, metode, sarana, dan proses pembuatan Tanda Tangan
Elektronik.
30
Pasal 12 . . .
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah informasi
yang minimum harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara Tanda
Tangan Elektronik.
Pasal 15
Ayat (1)
“Andal” artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan yang
sesuai dengan kebutuhan penggunaannya.
“Aman” artinya Sistem Elektronik terlindungi secara fisik dan
nonfisik.
“Beroperasi sebagaimana mestinya” artinya Sistem Elektronik
memiliki kemampuan sesuai dengan spesifikasinya.
Ayat (2)
“Bertanggung jawab” artinya ada subjek hukum yang
bertanggung jawab secara hukum terhadap Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberikan peluang terhadap pemanfaatan
Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat.
Pemanfaatan Teknologi Informasi harus dilakukan secara baik,
bijaksana, bertanggung jawab, efektif, dan efisien agar dapat
diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18 ...
31
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak
internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik dikenal
dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai hukum yang
berlaku bagi kontrak tersebut.
Pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik hanya dapat dilakukan
jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya
harus sejalan dengan prinsip hukum perdata internasional (HPI).
Ayat (3)
Dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang
berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata
internasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku
pada kontrak tersebut.
Ayat (4)
Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional,
termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalah forum yang
dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat berbentuk
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya.
Ayat (5)
Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewenangan
forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata
internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas tempat tinggal
tergugat (the basis of presence) dan efektivitas yang
menekankan pada tempat harta benda tergugat berada (principle
of effectiveness).
Pasal 19
Yang dimaksud dengan “disepakati” dalam pasal ini juga mencakup
disepakatinya prosedur yang terdapat dalam Sistem Elektronik yang
bersangkutan.
Pasal 20
Ayat (1)
Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para
pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, identitas,
nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN)
atau sandi lewat (password).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21 ...
32
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dikuasakan” dalam ketentuan ini
sebaiknya dinyatakan dalam surat kuasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fitur” adalah fasilitas yang memberikan
kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk melakukan
perubahan atas informasi yang disampaikannya, misalnya
fasilitas pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi ulang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Nama Domain berupa alamat atau jati diri penyelenggara negara,
Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang perolehannya
didasarkan pada prinsip pendaftar pertama (first come first
serve).
Prinsip pendaftar pertama berbeda antara ketentuan dalam Nama
Domain dan dalam bidang hak kekayaan intelektual karena tidak
diperlukan pemeriksaan substantif, seperti pemeriksaan dalam
pendaftaran merek dan paten.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “melanggar hak Orang lain”, misalnya
melanggar merek terdaftar, nama badan hukum terdaftar, nama
Orang terkenal, dan nama sejenisnya yang pada intinya
merugikan Orang lain.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penggunaan Nama Domain secara tanpa
hak” adalah pendaftaran dan penggunaan Nama Domain yang
semata-mata ditujukan untuk menghalangi atau menghambat
Orang lain untuk menggunakan nama yang intuitif dengan
keberadaan nama dirinya atau nama produknya, atau untuk
mendompleng reputasi Orang yang sudah terkenal atau ternama,
atau untuk menyesatkan konsumen.
33
Pasal 24 . . .
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun dan
didaftarkan sebagai karya intelektual, hak cipta, paten, merek, rahasia
dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib dilindungi oleh Undang-
Undang ini dengan memperhatikan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Pasal 26
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data
pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy
rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan
pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi
dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses
informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Secara teknis perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud
pada ayat ini dapat dilakukan, antara lain dengan:
a. melakukan komunikasi, mengirimkan, memancarkan atau
sengaja berusaha mewujudkan hal-hal tersebut kepada siapa
pun yang tidak berhak untuk menerimanya; atau
34
b. sengaja . . .
b. sengaja menghalangi agar informasi dimaksud tidak dapat
atau gagal diterima oleh yang berwenang menerimanya di
lingkungan pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ayat (3)
Sistem pengamanan adalah sistem yang membatasi akses
Komputer atau melarang akses ke dalam Komputer dengan
berdasarkan kategorisasi atau klasifikasi pengguna beserta
tingkatan kewenangan yang ditentukan.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah
kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan,
mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun
jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio
frekuensi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kegiatan penelitian” adalah penelitian
yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian yang memiliki izin.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37 ...
35
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat” merupakan lembaga yang bergerak di bidang
teknologi informasi dan transaksi elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d ...
36
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “ahli” adalah seseorang yang
memiliki keahlian khusus di bidang Teknologi Informasi
yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis
maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51 ...
37
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghukum setiap perbuatan
melawan hukum yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 yang dilakukan oleh
korporasi (corporate crime) dan/atau oleh pengurus dan/atau staf
yang memiliki kapasitas untuk:
a. mewakili korporasi;
b. mengambil keputusan dalam korporasi;
c. melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi;
d. melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4843
Di-pdf-kan oleh Bamban Nurcahyo Prastowo dari dokumen elektronik .doc dari
www.depkominfo.go.id
bagian regulasi undang-undang.
38

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas
dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus di??ha?pus;
c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah
perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat
agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan,
penyiksaan, atau per?lakuan yang meren?dahkan derajat dan mar?tabat
kemanusiaan;
d. bahwa dalam kenyataannya kasus ke?keras?an dalam rumah tangga
banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin
perlin?dungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang
Peng?ha?pus?an Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal
28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal
29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUS?AN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang
diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga
sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung
diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum
dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindung?an adalah penetapan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawab?nya di
bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas :
a. penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. nondiskriminasi; dan
d. perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :
a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam ling?kup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
Pasal 9
(1)
(2)
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan :
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pela?yanan kesehatan sesuai dengan kebu?tuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perun?dang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam
rumah tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pemerintah :
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga;
c. menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga; dan
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan
akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2)
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya :
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing
rohani;
c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja
sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh
korban; dan
d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman
korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing,
dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial
lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk :
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
BAB VI
PERLINDUNGAN
Pasal 16
(1)
(2)
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,
kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.
Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
(3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama
dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban
untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang :
a. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
b. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan; dan
c. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan
harus :
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban
dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai
alat bukti.
(2) Pelayanan kese?hatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah dae?rah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus :
a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman
bagi korban;
b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan;
c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif;
dan
d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan
kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial
yang dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat :
a. menginforma?sikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan
seorang atau beberapa orang pendamping;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif
dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban
merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
d. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada
korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan
mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada
korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib :
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak
korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(1)
(2)
Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tang?ga
kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian
perkara.
Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di
tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua,
wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah
perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang
patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh :
a. korban atau keluarga korban;
b. teman korban;
c. kepolisian;
d. relawan pendamping; atau
e. pembimbing rohani.
Pasal 30
(1)
(2)
(3)
(4)
Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau
tulisan.
Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri
setempat wajib mencatat permohonan tersebut.
Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman
korban, kepolisian, relawan pendam?ping, atau pembimbing rohani maka
korban harus memberikan persetujuannya.
Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan
korban.
Pasal 31
(1)
(2)
Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat
mempertimbangkan untuk :
a. menetapkan suatu kondisi khusus;
b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah
perlindungan.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersamasama
dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 32
(1)
(2)
(3)
Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari
sebelum berakhir masa berlakunya.
Pasal 33
(1)
(2)
Pengadilan dapat menyatakan satu a?tau lebih tambahan perintah
perlindungan.
Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib
mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
(1)
(2)
Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat
menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan.
Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan
wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 35
(1)
(2)
(3)
Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa
surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah
perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi
itu bertugas.
Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali
dua puluh empat) jam.
Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 36
(1)
(2)
Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap
pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah
perlindungan.
Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan
penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu
kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
(1)
(2)
(3)
Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan
secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah
perlindungan.
Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagai?ma?na
dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu
pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
(1)
(2)
(3)
Apabila penga?dilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah
perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka
Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang
isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan
pelaku paling lama 30 hari.
Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat
perintah penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari :
a. tenaga kesehatan;
b. pekerja sosial;
c. relawan pendamping; dan/atau
d. pembimbing rohani.
Pasal 40
(1)
(2)
Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya.
Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib
memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk
menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja
sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1)
(2)
(3)
(4)
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta
rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
(1)
(2)
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam
juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan
tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa :
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku
dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan
menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja
sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands

Tesis M. Siddiq Nurzaman NPM. 2409109019 PASCASARJANA UNIVERSITAS GARUT TESIS, 2010

ABSTRAK
PENGARUH IMPLEMENTASI PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN (PNPM MP) DAN SIKAP WARGA MASYARAKAT TENTANG PNPM MP TERHADAP KINERJA PENDAMPINGAN DALAM PENGEMBANGAN SARANA SOSIAL EKONOMI DAN PERILAKU EKONOMI KELOMPOK MASYARAKAT SASARAN PNPM MP DI KABUPATEN GARUT


M. Siddiq Nurzaman
NPM. 2409109019
PASCASARJANA UNIVERSITAS GARUT
TESIS, 2010, 5 BAB, 188 HALAMAN
Penelitian ini berlandaskan pada terdapatnya indikasi bahwa Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka realisasi pemerintah pada usaha-usaha pembangunan dan pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat dewasa ini terutama mengenai kesejahteraan belum dapat memberikan hasil yang optimal, berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari Implementasi PNPM MP dan Sikap Warga Masyarakat tentang PNPM MP Terhadap Kinerja Pendampingan dalam Pengembangan Sarana Sosial Ekonomi dan Perilaku Ekonomi Kelompok Masyarakat yang menjadi sasaran PNPM MP Di Kabupaten Garut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah kelompok masyarakat sasaran PNPM MP di Kabupaten Garut yang berjumlah 4840. Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 98 orang ketua kelompok masyarakat atau yang mewakili yang dipilih secara acak klaster, sedangkan Teknik analisis data yang digunakan untuk menjawab hipotesis penelitian ini menggunakan analisis statistik dengan model analisis jalur .
Hasil pengujian Hipotesis menunjukan bahwa Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat dan Sikap Warga Masyarakat tentang PNPM memberikan pengaruh nyata terhadap Kinerja Pendampingan, Pengembangan sarana Sosial Ekonomi dan Perilaku ekonomi kelompok masyarakat sasaran PNPM.
Beberapa permasalahan yang dianggap penting yang di temukan pada penelitian ini yaitu: 1) Petugas yang berwenang secara khusus untuk mensosialisaikan PNPM dari segi kualifikasi belum menunjukan performa maksimal, 2)unsur-unsur masyarakat sasaran PNPM masih belum dilibatkan secara maksimal dalam kegiatan perencanaan pelaksanaan PNPM, 3) standar pengawasan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terhadap pelaksanaan PNPM belum sepenuhnya maksimal. 4) masyarakat belum merasakan bahwa PNPM memberikan pengaruh yang tinggi terhadap kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. 5) persoalan yang harus di atasi dengan bantuan fasilitator masih dapat di tingkatkan, 6) pendamping masih belum akomodatif dalam menampung aspirasi individu. 7) Sarana yang dibangun atas prakarsa PNPM untuk kepentingan masyarakat masih di nilai belum maksimal apabila di lihat dari standar. 8) ekspektasi kelompok masyarakat mengenai bantuan dana belum terpenuhi, 9) kelompok masyarakat sasaran PNPM masih memerlukan bantuan yang memadai dalam kegiatan usaha yang mereka lakukan.
Berdasarkan temuan tersebut beberapa hal yang dapat di sarankan di antaranya: 1) secara terus menerus meningkatkan kualitas dari proses sosialisasi 2) Meningkatkan fungsi kelurahan dan desa secara maksimal dalam pelaksanan Sosialisai PNPM 3) Meningkatkan dan menjaga kompetensi pendamping melaui berbagai cara 4) Mengoptimalkan sistem evaluasi pelaksanaan PNPM sehingga kekurangan atau kesalahan dari Implementasi dapat segera di ketahui dan di perbaiki. 6) Meningkatkan kepedulian masyarakat dalam melakukan pengawasan secara bersama-sama terhadap kegiatan PNPM, dengan berbagai cara.

PENGARUH PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENYULUHAN AGAMA ISLAM TERHADAP KINERJA PENYULUH AGAMA ISLAM DALAM PENINGKATAN PENGAMALAN KEAGAMAAN DAN KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA DI KABUPATEN GARUT


PENGARUH PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENYULUHAN AGAMA ISLAM TERHADAP KINERJA PENYULUH AGAMA ISLAM DALAM PENINGKATAN PENGAMALAN KEAGAMAAN
DAN KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA
DI KABUPATEN GARUT

A. Latar Belakang Penelitian
Pembangunan agama memiliki peran penting dalam mewujudkan kondisi moral, etika, serta spiritual bangsa Indonesia. Pembangunan agama merupakan salah satu upaya pemenuhan hak dasar rakyat dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Sebagaimana diatur UUD 1945 yang menegaskan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pembangunan agama bukan hanya usaha untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan, pemahaman, serta pengamalan ajaran agama, melainkan juga ditujukan untuk membangun masyarakat yang memiliki kesadaran akan adanya realitas sosial tentang nilai-nilai keberagaman (kebhinekaan) dan memahami makna kemajemukan sosial.
Keputusan Menteri Agama Nomor : 516 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama Dan Angka Kreditnya, Penyuluh Agama adalah : “Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan keagamaan dan penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama”.  Jadi yang dimaksud dengan Penyuluh Agama adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai pejabat fungsional dan diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan keagamaan dan penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama.                   
1
 
Perubahan sosial mempunyai dampak yang sangat besar bagi masyarakat. Kemunculan berbagai teknologi modern yang berkembang dengan cepat telah membentuk pola fikir yang tidak lagi terpagar oleh  ranah geografis tertentu, tetapi dalam istilah Marshal McLuhan (2005:17) teknologi komunikasi telah menjadi sebuah “Global Village”, desa raksasa. Para perancang keputusan menyadari bahwa kebutuhan akan penyuluh yang profesional merupakan tuntutan yang tidak bisa diabaikan. Penyuluh merupakan organ yang harus ditata dengan rapi dan menjadikannya lebih bermutu. Upaya ke arah sana, tentunya merupakan pekerjaan berat yang harus mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk unsur-unsur yang ada di dalam organisasi Kementerian Agama sendiri. Tanpa itu, mustahil menjadikan penyuluh  sebagai organ yang profesional bila tidak diikuti oleh unsur yang lain.
Tuntutan-tuntutan semacam inilah, agaknya yang merupakan munculnya ide untuk menjadikan Penyuluh Agama ditempatkan sebagai ujung tombak Kementerian Agama, sebagai agen penyampai ide-ide besar pemerintah dalam pembangunan dengan menggunakan bahasa agama. Melalui penyuluh, ide-ide tersebut harus diartikulasikan menjadi sebuah landasan operasional yang harus mampu menjawab masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat.
Sekalipun demikian, kenyataan selama ini menunjukkan bahwa program-program Kementerian Agama yang digulirkan belum mampu meningkatkan pengamalan keagamaan dan kerukunan hidup beragama masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari fenomena permasalahan berikut :
1.      Masih kurangnya aktivitas keagamaan masyarakat seperti melemahnya pengamalan kegiatan peribadatan. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan zakat, infak, dan shodaqoh (ZIS), aktivitas pengajian,  dan peringatan hari besar keagamaan. Dalam pelaksanaan ZIS, dari jumlah penduduk Kabupaten Garut sebanyak 2.737.525 orang, yang mengeluarkan zakat hanya sekitar 8% yaitu sebanyak 219.002 orang (BAZIS Kab. Garut, 2010). Kebanyakan penyaluran ZIS secara langsung kepada mustahik. Aktivitas pengajian yang dilakukan oleh majelis-majelis taklim mayoritas dilakukan oleh kaum perempuan dibanding laki-laki. Dari 927 majelis taklim, 70% diantaranya diisi oleh pengajian perempuan (ibu-ibu). (Kemenag Kantor Kabupaten Garut, 2010).

2.      Masih kurangnya tenaga Penyuluh Agama Islam yang berstatus Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Garut dan minimnya bahan-bahan mengenai teknis kepenyuluhan sehingga menyebabkan kinerja Penyuluh Agama Islam belum efektif. Penyuluh Agama Islam yang ada saat ini adalah 50 orang dari kebutuhan 430 orang se Kabupaten Garut. (Kemenag Kantor Kabupaten Garut, 2010).
Kebijakan penyuluhan agama dimaksudkan untuk menjadikan penyuluhan agama tentang progran-program yang digulirkan Kementerian Agama menyentuh langsung kepada masyarakat. Hal ini diduga dapat mempengaruhi kinerja penyuluh agama Islam dalam meningkatkan pengamalan keagamaan dan kerukunan hidup beragama di Kabupaten Garut.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka pernyataan masalahnya adalah melemahnya pengamalan keagamaan dan kerukunan hidup beragama masyarakat Kabupaten Garut hal ini antara lain karena pelaksanaan kebijakan penyuluhan agama Islam dan kinerja Penyuluh Agama Islam belum optimal.
Dari pernyataan masalah  tersebut dapat dirumuskan pertanyaan masalah (problem question) sebagai berikut : Adakah pengaruh pelaksanaan kebijakan penyuluhan agama Islam terhadap kinerja Penyuluh Agama Islam dalam peningkatan pengamalan keagamaan dan kerukunan hidup beragama di Kabupaten Garut?

C. Struktur Teori, Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian
Agama telah dianggap sebagai suatu sistem budaya atau simbol sosial. Akan tetapi ada kriteria yang dapat membedakan agama dari intuisi-intuisi budaya atau sosial lainnya. Salah satu fakta yang ditemukan bahwa agama didasarkan dan bersumber kepada kekuatan di luar kekuatan ini dikonseftualkan sebagai sesuatu yang disebut supernatural.
Secara harfiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dari asal perkataan tersebut dapat diartikan bahwa penyuluhan dimaksudkan untuk memberi penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang disukai, agar tidak lagi berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentu. Van Den Ban, A.W. dan H.S Hawkins (1999:25) mengartikan penyuluhan sebagai keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar.
Penyuluhan adalah proses memberikan bantuan berupa; informasi, memecahkan masalah yang dihadapi, pengambilan keputusan kepada masyarakat supaya proses peningkatan mutu masyarakat dan kualitas hidup dapat berjalan lancar. Berdasarkan definisi tersebut maka Ilmu penyuluhan dalam perkembangannya didukung oleh berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan upaya perubahan perilaku individu seperti : ilmu pendidikan, psikologi,  komunikasi, sosiologi, antropologi, manajemen, dan ilmu ekonomi. Dengan dukungan dari berbagai disiplin ilmu inilah, maka ilmu penyuluhan pembangunan tergolong kedalam ilmu yang multidisiplin.
Administrasi Negara adalah keseluruhan proses dari aktivitas-aktivitas pencapaian tujuan secara efisien melalui orang lain. (Robbins, dalam Iskandar, 2005:18). Siagian memberikan pengertian bahwa administrasi negara adalah keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan yang dilakukan dua orang atau lebih yang terlibat dalam suatu bentuk usaha kerja sama demi tercapainya tujuan yang ditentukan sebelumnya (Iskandar, 2005:18-19).
Waldo (dalam Iskandar, 2005:18)  mendefinisikan administrasi negara sebagai suatu manajemen manusia dalam pemerintahan guna mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu, administrasi negara merupakan suatu seni dan ilmu tentang manajemen yang dipergunakan untuk mengatur urusan-urusan negara.
Dengan demikian,  pendekatan administrasi negara sangat berhubungan dengan peranan aparatur pemerintah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui aktivitas penyediaan berbagai barang-barang publik dan aktivitas dalam pemberian pelayanan umum, termasuk dalam kaitan ini yaitu mengenai kerukunan hidup beragama.

1. Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam
Kebijakan publik menurut Anderson (Iskandar, 2005:51) sebagai tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Kebijakan publik meliputi apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan  atau tidak melakukan sesuatu dan merupakan pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Selanjutnya Iskandar (2005:55) menjelaskan bahwa tujuan sentral dari suatu kebijakan pemerintah adalah kepentingan umum (publik). Pembentukan kebijakan dapat dilakukan secara demokrasi dalam pengertian anggota dari suatu kelompok mendapat kesempatan untuk dapat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung terhadap isi, terjadinya maupun akibat dari suatu kebijakan publik. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebijakan publik ditujukan untuk memenuhi kepentingan umum, yang di dalam prosesnya melibatkan berbagai faktor seiring dengan pemenuhan tuntutan yang dihadapi dari kompleksitas permasalahan yang harus diantisipasi dalam suatu kebijakan publik.
Menurut Iskandar (2005:20) bahwa untuk mengukur pelaksanaan kebijakan dapat dilihat dari dimensi-dimensi sebagai berikut :
a. Dimensi Komunikasi
Komunikasi merupakan dasar bagi interaksi manusia dan bagi berfungsinya kelompok. Melalui komunikasi, dapat dibangun pengertian bersama, membangun saling percaya, mengkoordinasi tindakan-tindakan, merencanakan strategi pencapaian tujuan, dan sebagainya (Iskandar, 2005:28). Menurut Berlo (dalam Iskandar, 2005:275), Dimensi Komunikasi dapat dilihat dengan indikator : 1) Materi, 2) Metode Penyampaian, 3) Sumber Komunikasi.
b. Dimensi Struktur Birokrasi
Kata “birokrasi” dapat diartikan mengandung pengertian : (a) Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan; (b) Cara bekerja atau pekerjaan yang lamban, serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya, dan sebagainya. Indikator dimensi struktur birokrasi adalah sebagai berikut : 1) Fungsi Organisasi, 2) Komposisi, 3) Hirarki, 4) Peraturan-Peraturan.
c. Dimensi Sumber Daya
Sumber daya adalah unsur paling strategik dalam organisasi. Tidak ada pilihan lain bagi manajemen kecuali menerima aksioma tersebut. Oleh karena itu memberdayakan SDM merupakan etos kerja yang sangat mendasar dan harus dipegang teguh. Dengan indikator sebagai berikut : 1) Manusia, 2) Konsistensi, 3) Keuangan.
d. Dimensi Perilaku Aparatur
Sumber daya aparatur saat ini dikonotasikan dengan SDM yang memiliki Profesionalisme rendah. Alasan yang dapat dikemukakan  untuk menjelaskan kondisi keterpurukan tersebut, setidaknya dari isi internal dan eksternal perlu mendapat perhatian bersama.  Dengan indikator sebagai berikut : 1) Kemampuan, 2) Motivasi, 3) Konsistensi.
2. Kinerja Penyuluh Agama Islam
Kinerja  menurut Lembaga Adminitrasi Negara (LAN)  (dalam Supriatna, 2000:132) adalah prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja/hasil kerja, peampilan kerja yang diterjemahkan dari performance. Menurut Amstrong (dalam  Supriatna, 2000:13) kinerja adalah istilah manajemen, yang  berarti mendapatkan hasil yang baik dari organisasi kelompok dan perorangan lewat pengertian dan pertimbangan bersama dengan berpedoman pada suatu standar kerja.
Menurut Hasibuan (2006:92) bahwa untuk mengukur kinerja dapat dilihat dari dimensi-dimensi sebagai berikut :
a. Dimensi Ability
Produktivitas mengandung  beberapa pengertian pada level filosofis, manajerial, dan teknis operasional. Pada level filosofis, dewan produktivitas nasional mendefinisikan produktivitas sebagai berikut : “Suatu sikap mental yang selalu berusaha untuk mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini.” Dengan indikator sebagai berikut : 1) Kualitas Kerja, 2) Profesional, 3) Kreativitas.

b. Dimensi  Work Effort
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan seseorang. Oleh karena itu, apabila kepemimpinan dijadikan sebagai profesi, maka tugas atau fungsi kepemimpinan harus dikerjakan dengan profesional dan berhak atas imbalan material dan immaterial. Untuk itu, profesi kepemimpinan harus dilandaskan pada faham dasar yang menceirminkan nilai-nilai kemanusiaan luhur, seperti nilai pengabdian pada kepentingan umum, jaminan keselamatan, kebaikan dan kesejateraan bagi semua komponen SDM organisasi. Menjadi pengingat dan pemersatu, menjadi penggerak, dinamisator dari setiap kegiatan. Dengan indikator sebagai berikut : 1) Motivasi Kerja, 2) Etiket kerja, 3) Prestasi Kerja.
c. Dimensi  Organizational Support
Terdapat beberapa teori dan perspektif mengenai organisasi, ada yang cocok sama satu sama lain, dan ada pula yang berbeda. Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya (uang, material, mesin, metode, lingkungan), sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan indikator sebagai berikut : 1) Partisipasi, 2) Aktivitas, 3) Inovasi.
3. Peningkatan Pengamalan Keagamaan
Dalam konteks realitas sosial kita melihat agama diamalkan dalam dua bentuk pengamalan yang berbeda, meminjam istilah Quraish Syihab,  yakni pengamalan agama secara ekstrinsik dan bentuk lainnya adalah pengamalan agama secara intrinsik.
Pengamalan agama secara ekstrinsik merupakan bentuk pengamalan yang menjadikan agama hanyalah seperangkat aturan yang hanya mengurus masalah ritual semata (kesalehan personal). Bentuk pengamalan agama yang kedua adalah beragama secara intrinsik. Bentuk pengamalan keagamaan ini sangat bertolak belakang dengan bentuk yang pertama. Orang yang beragama secara intrinsik menjadikan agama sebagai pegangan hidup dan berusaha menggali kedalaman pesan-pesan agama tersebut.
Menurut Iskandar (2005:216-218) bahwa untuk mengukur pengamalan keagamaan dapat dilihat dari dimensi-dimensi sebagai berikut :
a. Dimensi Intensitas
Hubungan antar umat berbeda agama merupakan hal yang paling peka di antara segala hubungan sosial antar kelompok manusia di dalam masyarakat. Hubungan antar orang-orang dari kategori rasial dan etnis yang berbeda, misalnya, sangat sering bermuara pada terbukanya kesefahaman atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasar yang tidak pernah diketahui sebelumnya.
Dimensi Intensitas menurut Iskandar (2002:216-218) memiliki indikator-indikator : 1) Indikator Kemampuan Penggunaan Waktu, 2) Indikator Frekwensi.
b. Dimensi  Kuantitas Pengamalan
Penempatan secara proporsional berdasarkan kerangka dan cara berfikir yang jernih dan rasional “agama sebagai agama dan cara pandang keagamaan, sikap keberagamaan, dan tindakan mengatas namakan agama” yang ada pada setiap kelompok pemeluk atau penganut agama akan merupakan kerangka landasan pengungkapan dan perumusan solusi masalah paling fundamental yang terhampar di bawah riak-riak dan bahkan gelombang konflik antar umat berbeda agama di Indonesia. Peran  ganda agama di dalam masyarakat hanya akan mampu menyentuh kulit luar ekses-ekses dari masalah pergaulan antar umat berbeda agama, dan bukan masalah intinya.
Dimensi  kuantitas pengamalan menurut  Iskandar (2002:216-218) memiliki indikator-indikator : 1) Indikator Kebersamaan, 2) Indikator Kontinuitas Pengamalan Agama.
4. Kerukunan Hidup Beragama
Kerukunan ialah suasana dimana masing-masing anggota dari masyarakat menerapkan sikap saling menghargai dan saling menghormati. Konsep kerukunan ini merupakan acuan untuk meminimalisir terjadi konflik yang meretakan sendi-sendi keharmoisan dalam kehidupan bermasyarakat, terlebih dalam kenyataan masyarakat yang plural.
Menurut Iskandar (2005:398-399) bahwa untuk mengukur kerukunan hidup beragama dapat dilihat dari dimensi-dimensi sebagai berikut :


a. Dimensi Kerukunan Antar Umat Seagama
Menata kehidupan keberagamaan yang harmonis merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu negara, guna menciptakan masyarakat yang tentram. Namun demikian, masalah konflik antar umat beragama merupakan fakta yang konstan yang kerap terjadi pada masyarakat pluralis seperti Indonesia. Sebab, dalam sebuah masyarakat majemuk, agama yang dianut dalam suatu masyarakat sangat beragam. Persoalan yang kerap terjadi bermula ketika  klaim kebenaran agama yang dianut seseorang atau sekelompok orang dihadapkan pada klaim kebenaran agama lain, maka tidak jarang timbul benturan, perselisihan, bahkan peperangan yang bernuansa agama.
Dimensi kerukunan antar umat seagama menurut (Iskandar, 2005:398-399) memiliki indikator-indikator : 1) Kekeluargaan, 2) Pemeliharaan.
b. Dimensi Kerukunan Antar Umat Beragama
Aspek kerukunan umat beragama yang kedua menyangkut hubungan antar umat beragama. Penekanan pada aspek kedua dirasakan sangat penting dalam suatu masyarakat dan bangsa yang penduduknya majemuk dari segi agama. Pola kerukunan yang hendak dikembangkan dalam kaitan ini adalah kerukunan yang bersifat dinamis. Maksudnya, hubungan diantara umat yang berbeda agama selain terwujud dalam bentuk kesadaran akan kemajemukan dan sikap saling menghargai, juga diharapkan agar umat tersebut dapat bekerjasama dan saling membantu dalam bidang sosial dan ekonomi.  Kemajemukan dalam hal ini dipandang dan disikapi secara positif. Dengan demikian, umat beragama dapat secara bersama-sama mengatasi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan. 
Dimensi kerukunan antar umat beragama menurut (Iskandar, 2005:398-399) memiliki indikator mempertahankan kesejahteraan masyarakat.
c. Dimensi Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah
   Pengembangan kerukunan antar umat beragama dikembangkan pula melalui penyediaan rambu-rambu yang mengatur hubungan antar warga masyarakat yang memiliki keragaman agama. Sebagian dari rambu-rambu sudah dimiliki oleh bangsa kita, namun berbagai rambu-rambu yang lain, seperti Undang-undang Kerukunan Hidup Umat Beragama perlu diusahakan (Bapenas, 2008:17).
Dimensi antara umat beragama dengan pemerintah menurut (Iskandar, 2005:398-399) memiliki indikator-indikator :
1.      Indikator organisasi agama untuk mengontrol  konflik internal
2.      Indikator organisasi agama  untuk berhubungan dengan masyarakat lainnya
3.      Indikator makna agama bagi masyarakat
4.      Indikator fungsi agama bagi kerukunan
Berdasarkan kerangka teoritik di atas, maka anggapan dasar dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Apabila Penyuluhan agama Islam dilakukan dengan baik maka pengamalan kegamaan masyarakat akan meningkat.
2.    Kinerja Penyuluh Agama Islam akan berjalan dengan baik apabila ditunjang oleh kebijakan penyuluhan agama Islam yang  konsisten dan terpadu.
3.    Pengamalan keagamaan dapat tercipta bila didukung oleh kinerja Penyuluh Agama Islam yang mengacu pada kebijakan penyuluhan agama Islam.
4.    Terciptanya Kerukunan hidup beragama yang ditandai dengan hubungan harmonis dan dinamis diantara pemeluk umat seagama dan beragama merupakan wujud pelaksanaan nilai-nilai agama di masyarakat.
Maka hipotesis utama yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh pelaksanaan kebijakan penyuluhan agama Islam terhadap kinerja Penyuluh Agama Islam dalam peningkatan pengamalan keagamaan dan kerukunan hidup beragama di Kabupaten Garut”.

D. Metodologi Penelitian
          Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dengan teknik survey. Iskandar  (2005:174) mengemukakan bahwa penelitian deskriptif ada hubungannya dengan pemaparan suatu fenomena atau hubungan antara dua fenomena atau lebih.
          Dalam penelitian ini variabel yang diukur terdiri dari satu variabel bebas (independent variable) yaitu Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam yang dinotasikan dengan X, satu variabel antara (interventing variable) yaitu Kinerja Penyuluh Agama Islam yang dinotasikan dengan Y, dan dua variabel terikat (dependent variable) yaitu Peningkatan Pengamalan Keagamaan dinotasikan dengan Z1 dan Kerukunan Hidup Beragama dinotasikan dengan Z2.
           Variabel-variabel penelitian di atas secara struktural dapat digambarkan melalui sebuah paradigma. Keempat  variabel tersebut di atas tentunya mempunyai hubungan atau keterkaitan satu sama lainnya, bahkan tentunya saling pengaruh, sehingga secara skematis dapat digambarkan pada paradigma penelitian yang bersifat causal effectual sebagai berikut :
ε2
 
ε1
 
Pyε1
 
Pz1ε2
 
                                              Rounded Rectangle: Z1
Pz1x
 
Pz1y
 
Pyx
 
       
rz1z2
 
Rounded Rectangle: Y
Rounded Rectangle: X
Pz2y
 
                                                               
Rounded Rectangle: Z2
Pz2ε3
 
Pz2x
 

ε3
 

Selanjutnya, operasionalisasi keempat variabel penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini :


Operasionalisasi Variabel Penelitian

No

Variabel

Dimensi

Indikator
1
Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam.
Iskandar
(2005: 20)
1. Komunikasi

1. Materi
2. Metode penyampaian
3. Sumber komunikasi
2. Struktur Birokrasi

1. Fungsi organisasi
2. Komposisi
3. Hirarki
4. Peraturan-peraturan
3. Sumber Daya

1. Manusia
2. Konsistensi
3. Keuangan
4. Perilaku Aparatur

1. Kemampuan
2. Motivasi
3. Konsistensi
2
Kinerja  Penyuluh Agama Islam.
Hasibuan
(2006: 92)


1. Ability

1. kualitas Kerja
2. Profesional
3. Kreativitas
2. Work Effort

1. Motivasi Kerja
2. Etiket Kerja
3. Prestasi Kerja
3. Organizational  
    Support

1. Partisipasi
2. Aktivitas
3. Inovasi
3
Peningkatan Pengamalan Keagamaan.
Iskandar
(2005: 216-218)

1. Intensitas
1. Kemampuan penggunaan
    waktu
2. Frekwensi
2. Kuantitas
    Pengamalan
1. Kebersamaan
2. Kontinuitas pengamalan
    agama
4
Kerukunan Hidup Beragama.
Iskandar
(2005: 398-399)

1. Kerukunan Antar
    Umat se-agama
1. Kekeluargaan
2. Pemeliharaan
2. Kerukunan Antar
    Umat Beragama
1. Mempertahankan
    kesejahteraan
    masyarakat
3. Kerukunan antara Umat Beragama dengan Pemerintah
1. Organisasi agama untuk
    mengontrol konflik
    internal
2. Organisasi agama  untuk
     berhubungan dengan
     masyarakat lainnya
3. Makna Agama bagi
     masyarakat
4. Fungsi Agama bagi
     kerukunan





























Dalam kegiatan pengumpulan data, alat ukur yang digunakan sesuai kebutuhan analisis penelitian adalah kuesioner atau angket. Pertanyaan yang diajukan dilakukan secara tertulis dan bersifat tertutup dimana jawabannya sudah disediakan, sehingga responden hanya tinggal memilih salah satu jawaban yang sudah disediakan, dengan memberikan tanda sesuai dengan petunjuknya dan katagori jawabannya terdiri dari lima tingkatan dengan menggunakan skala perbedaan semantik dengan tingkat pengukuran ordinal.
Untuk menguji validitas alat ukur penelitian, dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment dari Pearson. Sedangkan  Teknik yang digunakan dalam mengukur reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini adalah Alfa Cronbach.
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi sasaran (target population) adalah seluruh Penyuluh Agama Islam yang merupakan Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Garut sebanyak 50 orang yang tersebar di 42 kecamatan dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Garut.
     Mengingat jumlah populasi terbatas, maka penelitian ini tidak dilakukan penarikan sampel atau seluruh populasi dijadikan responden penelitian (sensus).
Peneliti melakukan klasifikasi jenis data, sumber data dan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1.   Jenis data, berupa data primer dan sekunder, yaitu :
a.  Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden.
b. Data sekunder berupa dokumentasi-dokumentasi.
2.   Sumber data dalam penelitian ini adalah :
a. Responden penelitian, yaitu Penyuluh Agama Islam yang merupakan Pegawai Negeri Sipil pada Kemenag Kantor Kabupaten Garut dan Kecamatan se-Kabupaten Garut yang berjumlah 50 orang.
b. Sumber data lainnya berupa dokumen-dokumen yang ada di Seksi Penerangan Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid (Penamas) Kemenag Kantor Kabupaten Garut.
3.   Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a.  Studi lapangan (Field Research) yang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :
1)  Observasi
2)  Wawancara
3)  Angket
b. Studi dokumentasi (Library Research), yaitu pengumpulan data dengan cara mempelajari buku-buku sumber, catatan, dokumen, brosur, hasil penelitian sejenis, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah penelitian. Pada penelitian ini, studi dokumentasi yang dimaksud adalah dengan mempelajari  kebijakan penyuluhan agama Islam, kinerja penyuluh agama Islam, peningkatan pengamalan keagamaan, dan kerukunan hidup beragama di Kabupaten Garut.
Setelah data terkumpul, selanjutnya peneliti akan melakukan pengolahan dan analisis data dengan cara sebagai berikut :
1.    Editing
2.    Koding
3.    Tabulating
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Garut yang terdiri atas 42 kecamatan, dengan waktu pelaksanaan dari bulan Maret 2010 sampai dengan bulan Januari 2011.

E. Hasil Penelitian 
1. Deskripsi Hasil Penelitian
a. Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X)
Hasil pengolahan data terhadap 30 pertanyaan tentang Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X)  adalah :
Rata-rata jawaban responden adalah baik yaitu sebesar 73,63%. Jawaban dengan persentase tertinggi sebesar 89,60% yaitu Pelaksanakan pekerjaan sesuai dengan rencana kerja yang ditetapkan. Sedangkan jawaban dengan persentase terendah sebesar 52,40% yaitu para penyuluh agama secara rutin menyampaikan kebijakan penyuluhan agama di lokasi penyuluhan. Selain nilai dan persentase yang tertinggi dan terendah, temuan permasalahan penting lainnya dalam penelitian terhadap tanggapan responden yaitu kebijakan penyuluhan agama Islam  belum disosialisasikan pada waktu penyuluhan dan intensitas penyampaian kebijakan penyuluhan agama Islam bagi kepentingan masyarakat belum optimal.
b. Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y)
Hasil pengolahan data terhadap 20 pertanyaan tentang Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y) adalah :
Rata-rata jawaban responden adalah baik yaitu sebesar 74,10%. Jawaban dengan persentase tertinggi sebesar 84,40% yaitu penyuluhan agama yang dilakukan seringkali dilakukan di luar jam kerja. Sedangkan jawaban dengan persentase terendah sebesar 64,00% yaitu tingkat kehadiran kerja saudara di kantor dan lapangan. Selain nilai dan persentase yang tertinggi dan terendah, temuan permasalahan penting lainnya dalam penelitian terhadap tanggapan responden yaitu dalam pelaksanaan penyuluhan kurang menyiapkan perencanaan kerja, materi, media, dan lokasi.
c. Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1)
Hasil pengolahan data terhadap 15 pertanyaan tentang Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1) adalah :
Rata-rata jawaban responden adalah baik yaitu sebesar 80,48 %. Jawaban dengan persentase tertinggi yaitu sebesar 86,00% yaitu frekwensi penyuluhan  agama  dilakukan setiap hari. Sedangkan Jawaban dengan persentase terendah sebesar  77,20% yaitu Pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam penyuluhan agama Islam. Selain nilai dan persentase yang tertinggi dan terendah, temuan permasalahan penting lainnya dalam penelitian terhadap tanggapan responden yaitu Penyuluh Agama Islam kurang aktif  melaksanakan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan penyuluhan agama Islam.
d. Kerukunan Hidup Beragama (Z2)
Hasil pengolahan data terhadap 15 pertanyaan tentang Kerukunan Hidup Beragama (Z2) adalah :
Rata-rata jawaban responden adalah baik yaitu sebesar 76,05 %. Jawaban  dengan nilai persentase tertinggi sebesar 84,40 % yaitu kerjasama ormas Islam dan masyarakat  dengan Penyuluh Agama Islam. Sedangkan jawaban dengan persentase terendah sebesar 71,60% yaitu kualitas kehadiran  penyuluhan agama ditujukan untuk peningkatan pengamalan agama. Selain nilai dan persentase yang tertinggi dan terendah, temuan permasalahan penting lainnya dalam penelitian terhadap tanggapan responden yaitu kerukunan belum sepenuhnya terwujud meskipun penyuluhan intensif dilakukan, kebutuhan penyuluhan agama Islam bagi masyarakat belum terpenuhi, dan penyuluhan yang dilaksanakan belum dilakukan untuk mengantisipasi konflik.

2. Hasil Pengujian Hipotesis
a. Pengujian Hipotesis Utama (Pengaruh Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) terhadap Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y) dalam Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1) dan Kerukunan Hidup Beragama (Z2)) 
Hasil pengujian diperoleh nilai koefisien jalur sebesar 0,3354. Berdasarkan pengujian diperoleh nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel (t0,975 ; 48) yaitu thitung = 2,4668  >  ttabel = 2,0106. Dari nilai tersebut diperoleh keputusan Ho ditolak, sehingga variabel Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) berpengaruh secara nyata dan positif terhadap variabel Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y) dalam Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1) dan Kerukunan Hidup Beragama (Z2).
Besaran nilai Koefisien Determinasi (R2YZX) sebesar = 0,1125. Nilai ini menunjukkan bahwa Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y) dalam Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1)  dan Kerukunan Hidup Beragama (Z2) sebesar 11,25 %, sedangkan sisanya (PYZÎ)2 sebesar 88,75 % dipengaruhi oleh variabel lainnya diluar variabel Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X)  yang tidak dimasukkan ke dalam model.

b. Pengujian Sub Hipotesis dan Pembahasan
1. Pengaruh Variabel Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) terhadap Variabel Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y)
Hasil pengujian diperoleh nilai koefisien jalur sebesar 0,4425. Berdasarkan pengujian diperoleh nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel (t0,975 ; 48) yaitu thitung = 3,4186  >  ttabel = 2,0106. Dari nilai tersebut diperoleh keputusan Ho ditolak, sehingga variabel Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) berpengaruh secara nyata dan positif terhadap variabel Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y).
Besaran nilai Koefisien Determinasi (R2YX) sebesar = 0,1958. Nilai ini menunjukkan bahwa Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y) sebesar 19,58 %, sedangkan sisanya (PYÎ)2 sebesar 80,42 % dipengaruhi oleh variabel lainnya di luar variabel Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) yang tidak dimasukkan ke dalam model.
2. Pengaruh Variabel Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) terhadap Variabel Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1)
 Hasil pengujian diperoleh nilai koefisien jalur sebesar 0,1051. Berdasarkan pengujian diperoleh nilai thitung lebih kecil dari nilai ttabel (t0,975 ; 48) yaitu thitung = 0,7322  <  ttabel = 2,0106. Dari nilai tersebut diperoleh keputusan Ho diterima, sehingga variabel Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1).
3. Pengaruh Variabel Pengaruh Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) terhadap Variabel Kerukunan Hidup Beragama(Z2)
Hasil pengujian diperoleh nilai koefisien jalur sebesar -0,2154. Berdasarkan pengujian diperoleh nilai thitung lebih kecil dari nilai ttabel (t0,975 ; 48) yaitu thitung = -1,5286  <  ttabel = 2,0106. Dari nilai tersebut diperoleh keputusan Ho diterima, sehingga variabel Pelaksanaan Kebijakan Penyuluhan Agama Islam (X) tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel Kerukunan Hidup Beragama (Z2).
4. Pengaruh Variabel Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y) terhadap Variabel Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1)
Hasil pengujian diperoleh nilai koefisien jalur sebesar 0,2663. Berdasarkan pengujian diperoleh nilai thitung lebih kecil dari nilai ttabel (t0,975 ; 48) yaitu thitung = 1,9138  <  ttabel = 2,0106. Dari nilai tersebut diperoleh keputusan Ho diterima, sehingga variabel Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y) tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1).
5. Pengaruh Variabel Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y) terhadap Variabel  Kerukunan Hidup Beragama (Z2)
Hasil pengujian diperoleh nilai koefisien jalur sebesar -0,0478. Berdasarkan pengujian diperoleh nilai thitung lebih kecil dari nilai ttabel (t0,975 ; 48) yaitu thitung = -0,3313  <  ttabel = 2,0106. Dari nilai tersebut diperoleh keputusan Ho diterima, sehingga variabel Kinerja Penyuluh Agama Islam (Y) tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel Kerukunan Hidup Beragama (Z2).
6. Pengujian Korelasi Antara Variabel Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1) dengan  Variabel  Kerukunan Hidup Beragama (Z2)
Hasil pengujian diperoleh nilai koefisien korelasi parsial sebesar 0,4147 dengan sifat hubungan berkorelasi positif. Berdasarkan pengujian diperoleh nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel (t0,975 ; 48)  yaitu thit = 3,1577 > ttabel = 2,0106. Dari nilai tersebut diperoleh keputusan Ho ditolak, sehingga kedua variabel tersebut, yaitu Peningkatan Pengamalan Keagamaan (Z1) dengan Kerukunan Hidup Beragama (Z2) memiliki keeratan hubungan kurang signifikan.


F. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Hasil pengujian hipotesis utama menunjukan bahwa kebijakan penyuluhan agama Islam berpengaruh secara nyata dan positif terhadap kinerja Penyuluh Agama Islam dalam peningkatan pengamalan keagamaan dan kerukunan hidup beragama. Selanjutnya hasil pengujian sub-sub hipotesis menunjukan bahwa semua variabel tidak memberikan pengaruh secara nyata, kecuali sub hipotesis variabel pelaksanaan kebijakan penyuluhan agama Islam berpengaruh secara nyata dan positif terhadap variabel kinerja Penyuluh Agama Islam. Sementara itu terdapat hubungan korelasional yang memiliki keeratan hubungan kurang signifikan antara peningkatan pengamalan keagamaan dengan kerukunan hidup beragama. 
Beberapa temuan permasalahan penting lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Pertama, pada variabel kebijakan penyuluhan agama Islam adalah kebijakan penyuluhan agama Islam  belum disosialisasikan pada waktu penyuluhan dan intensitas penyampaian kebijakan penyuluhan agama Islam bagi kepentingan masyarakat belum optimal.
Kedua, pada variabel kinerja penyuluh agama Islam adalah dalam pelaksanaan penyuluhan kurang menyiapkan perencanaan kerja, materi, media, dan lokasi.
Ketiga, pada variabel peningkatan pengamalan keagamaan adalah Penyuluh Agama Islam kurang aktif  melaksanakan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan penyuluhan agama Islam.
Keempat, pada variabel kerukunan hidup beragama adalah kerukunan belum sepenuhnya terwujud meskipun penyuluhan intensif dilakukan, kebutuhan penyuluhan agama Islam bagi masyarakat belum terpenuhi, dan penyuluhan yang dilaksanakan belum dilakukan untuk mengantisipasi konflik.
Implikasi dari temuan fenomena dalam penelitian ini adalah terhambatnya upaya penyuluhan agama Islam kepada masyarakat, sehingga menyebabkan masih kurangnya aktivitas keagamaan masyarakat dalam pengamalan kegiatan peribadatan. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap timbulnya konflik dan berkurangnya harmonisasi kerukunan hidup beragama di masyarakat.

2. Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas ternyata masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan kebijakan. Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan pengamalan keagamaan dan kerukunan hidup beragama di Kabupaten Garut, maka disampaikan sejumlah saran-saran sebagai berikut :
1.    Saran untuk perbaikan pelaksanaan kebijakan :
a. Kementerian Agama dalam pelaksanaan penyuluhan agama Islam harus dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh komponen, baik terhadap aparatur pemerintah maupun kepada masyarakat/keluarga.
b. Kepada Seksi Penamas Kemenag Kantor Kabupaten Garut, meningkatkan kualitas pelaksanaan kebijakan guna mendukung pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
c. Kepala Kanwil Kemenag Propinsi Jawa Barat c.q Bidang Penamas, meningkatkan pengawasan dengan melibatkan semua pihak yang peduli serta memperbaiki tingkat mentalitas pengawas dalam melaksanakan tugas pengawasannya.
2.    Saran untuk pemecahan masalah-masalah teknis :
a.    Supaya tujuan kebijakan penyuluhan agama Islam dapat berhasil sesuai yang diharapkan, penulis menyarankan hendaknya penyuluhan dan pengawasan yang dilaksanakan harus baik dan fungsi kebijakan dilaksanakan secara lebih efektif melalui koordinasi yang didukung dengan komunikasi yang persuasif.
b.    Keberhasilan pembangunan bidang keagamaan sangat dipengaruhi oleh kinerja penyuluh, maka hendaknya para penyuluh meningkatkan pengetahuan, dan keterampilan serta kreatifitasnya.
c. Meningkatkan kesadaran beragama pada masyarakat, karena pengamalan agama yang baik akan menunjang terhadap sikap masyarakat yang baik pula.
d. Supaya kerukunan hidup beragama dapat terwujud sesuai yang diharapkan, penulis menyarankan hendaknya Penyuluh Agama Islam meningkatkan kerjasama dengan Ulama dan tokoh masyarakat.
3.    Saran untuk penelitian lebih lanjut.
Mengingat terdapat beberapa temuan pada penelitian dan keterbatasan dalam penelitian ini, maka diharapkan pada masa yang akan datang berbagai pihak dapat meneliti lebih lanjut masalah-masalah diluar dari variabel-variabel pada penelitian ini yang mempengaruhi terhadap kinerja Penyuluh Agama Islam, Peningkatan pengamalan agama, dan kerukunan hidup beragama. Dengan demikian, diharapkan penelitian lanjutan ini dapat memberikan kontribusi bagi upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai upaya meningkatkan pengamalan agama dan kerukunan hidup beragama masyarakat.

G. Daftar Pustaka
Buku-Buku
A. Ismail Ilyas , 2006, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Paramadina, Jakarta
Agustino,  Leo, 2006, Dasar-dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung
Ahmad, Subandi, 2007, Ilmu Dakwah : Pengantar kearah Metodologi, Syahida,  Bandung

Arikunto, Suharsimi, 2005, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Bandung
A. W. Van Den Ban dan H. S. Hawkins, 1999, Penyuluhan Pertanian, Kanisius, Yogyakarta

Departemen Agama RI,  2007, Penyuluh Agama Islam, Jakarta

--------------------------, 2008, Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta

--------------------------, 2008, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta

Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

Dunn, William, N, 2006, Analisa Kebijakan Publik,  Penyadur Muhajir Darwin, Hanindita Graha Widya, Jakarta

Echols John M. dan Hassan Shadily, 2003, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Efendi, Sopian dan Masri Singarimbun, 2008, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta

Fakih, Mansour, 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Hasibuan, Malayu SP, 2006, Manajemen Dasar : Pengertian dan Masalah,        Bumi Aksara, Jakarta

Iskandar, Jusman, 2005a, Dinamika Kelompok, Organisasi dan Komunikasi Sosial, Puspaga, Bandung

----------------- , 2005b, Manjemen Publik, Puspaga, Bandung

----------------- , 2005c, Beberapa Indeks Dan Skala Pengukuran Variabel Sosial dan Psikologi, Puspaga, Bandung

----------------- , 2005d, Metodologi Penelitian Adminitrasi, Puspaga, Bandung

----------------- , 2005e, Teori Sosial, Puspaga, Bandung

----------------- , 2005f,  Kapita Selekta Administrasi Negara dan Kebijakan Publik, Puspaga, Bandung

Islamy,  M. Irfan, 2004, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta

Mangkunegara, 2005, Evaluasi Kinerja SDM, Refika Aditama, Bandung

Marshall, McLuhan, 2005, Bencana Gempa dan Tsunami : Nangro Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Masoed, Mochtar, 1994, Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Muhammad,  Arni, 2002, Komunikasi Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta

Muhyidin, A. dan Syafei, A. A.,  2007, Metode Pengembangan Dakwah,  Pustaka setia, Bandung

Naihasi, Syahrin, 2006, Kebijakan Publik, Mida Pustaka, Yogyakarta

Nawawi, hadari, 2008,  Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah mada University Press, Yogyakarta

Nazir, Mohamad, 2008, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta

Ndraha, Talizuhu, 2006, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Jakarta

Nisjar, Karhi dan J. Winardi, 2007,  Teori Sistem dan Pendekatan Sosial dalam Manajemen,  Mandar Maju, Bandung

Pudjiwati, 2002, Sosiologi Pembangunan, PPs. UNJ, Jakarta

Rasyid, M. Ryaas, 1995,  Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru,  Yasrif Watampore, Jakarta

Rusidi, 2003, Metode Penelitian Sosial, Mandar Maju, Bandung
Rahardjo, M. Dawam, 2006, Ensiklopedi Al-Quran, Paramadina, Jakarta

Singadilaga, Duddy, 2006, Ruang Lingkup dan Teori Kebijakan Publik, Diktat Kuliah, Program Pascaarjana Universitas Garut, Garut

Singarimbun, Masri dan Efendi, Sofian, 2003, Metode Penelitian Survey,  LP3ES, Jakarta

Solichin, Abdul Wahab, 2004, Analisis Kebijaksanan, Bumi Aksara, Jakarta

Subarsono, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sudarto,  Edi, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung

Sudjana, Egi, 2002, Uji Statistik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Sugiyono, 2006, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung

-----------, 2006, Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung

Sukanto, Soeryono, 2004, Sosiologi : Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada
Supriatna, Cahya, 2001, Akuntabilitas Pemerintah dalam Administrasi Publik, Indra Prahasta, Bandung

Supriatna, Tjahya, 2000, Legitimasi Pemerintahan : Manajemen dan Organisasi Publik serta Manajemen Pemerintahan Daerah, CV. Maulana, Bandung

Syafiie,  Inu Kencana, 2003, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Bumi Aksara, Jakarta

-------------------------,  2003, Ilmu Administrasi Publik, Rineka Cipta, Jakarta

Toha, Miftah, 2006, Kepemimpinan dalam Manajemen, Raja Grafindo Persada, Jakarta

----------------, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Kencana, Jakarta

Wicaksono,  Kristian Midya, 2006, Administrasi Negara dan Birokrasi Pemerintah, Graha Ilmu, Yogyakarta

Widodo, Joko, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Bayumedia, Malang
Yaqub, A. M., 2008, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Pustaka Firdaus, Jakarta


Dokumen-Dokumen

Undang-Undang Dasar 1945

Keputusan Menteri Negara Koordinator Pengawasan Pembangunan Pendayagunaan Aparatur Negara No. 54/KEP/MK. WASPAN/9/1999  tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya

Keputusan Presiden No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil

Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Badan Kepegawaian Negara No. 547 Tahun 1999 dan No. 178  tahun 1999 dan Menteri Negara Koordinator Pengawasan Pembangunan Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya

Keputusan Menteri Agama Nomor : 516 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama Dan Angka Kreditnya

Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009

Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah disempurnakan oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2005 Pasal 63

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat.

Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan